BLOG KALONG

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 16 Januari 2017

Secarik Kisah Kuning Hijau

       Masih dan selalu segar di ingatanku. Masa-masa kuning hijau, masa-masa yang penuh dengan memori,memori yang tak pernah kandas untuk ditelusuri. Mungkin ada yang bertanya itu warna apa? Ya, itu adalah warna seragamku ketika masih duduk di bangku SD di negeri seberang, Malaysia. Orang disana menyebutnya darjah. Aku menyelesaikan darjahku tahun 2008 di sekolah dasar nonkerajaan (swasta) di Sabah, Malaysia tepatnya di ladang baturong 3 yaitu salah satu ladang sawit milik IOI corporation di Sabah. Nama sekolahnya adalah Humana 76. Humana sendiri adalah sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak dari warga yang bukan warga negara Malaysia dan tidak memiliki akta kelahiran Malaysia dan hanya sampai jenjang sekolah dasar saja. Tidak bisa dipungkiri, selama kurang lebih enam tahun lamanya aku menghabiskan waktuku di ladang sawit. Selama enam tahun itu pula, kenangan pahit, asam, manis, pedas kulalui.
       Ingatanku mentok ketika aku masih duduk di bangku kelas darjah tiga. Belum sempat matahari menampakkan sinarnya, sudah terdengar suara person (salah satu kendaraan angkutan buah sawit dan masyarakat untuk pergi kerja (jonder) ) menggelegar memecah sunyi sembari orang-orang sibuk persiapkan diri untuk berangkat kerja. Mulai dari mempersiapkan perbekalan sampai peralatan kerja. Tak terkecuali kami "budak-budak sekolah" turut mencicipi kesibukan-kesibukan di pagi buta. Mulai dari mandi, sarapan, siapkan seragam sekolah dan peralatan belajar. Tatkala sinar matahari mulai terselip di antara dedaunan sawit, aku dan kawan-kawan senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan mulai berangkat ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah agak tidak jauh, hanya sekitar tiga kilo meter dan ditempuh dengan jalan kaki selama lebih kurang satu jam lamanya. Kami jalan kaki menulusuri hutan sawit yang tiada ujungnya. Candaan kami menjadi pelipur tatkala betis terasa sudah mulai kaku. Sengatan dinginnya pagi tak mau kalah. Menusuk hingga beku darah merah. Namun kian mencair tatkala keringat mulai tampak di dahi. Pertanda matahari sudah keliatan sempurna dan sekolah sudah di depan mata. Tapi kami tak pernah lelah apalagi resah. Kami ikhlas dan bersyukur masih bisa menimbah ilmu di negeri orang dengan gratis dan "layak." Meskipun kami tidak dapat menyentuh kualitas pendidikan yang baik seperti sekolah-sekolah kerajaan tapi suatu kesyukuran masih ada sekolah yang mau menampung murid-murid seperti kami.
       Sekolah kami adalah bekas rumah-rumah karyawan ladang yang berbentuk panggung yg direnovasi sedemikian rupa dengan menggabungkan empat rumah hingga menjadi suatu ruangan kelas yang luas. Cukup untuk menampung semua murid dari kelas satu sampai murid kelas enam yang jumlahnya lebih kurang lima puluh orang siswa. Di bawah kolong sekolah adalah pusat permainan kami. Setiap pagi kami bermain sembari menunggu lonceng masuk berbunyi. Tak jarang terjadi benturan antara atlet cabang satu dengan cabang yang lainnya karena sempitnya area permainan dan banyaknya cabang permainan yang dimainkan secara bersamaan.
       Di kelas aku cukup "diperhitungkan." Kenakalanku tiada tara. Tak jarang aku mendapatkan hukuman dari guru-guru. Hukuman sudah seperti makanan sehari-hariku di sekolah. Menunya bermacam-macam, mulai dari push up, skotjump, lari keliling lapangan hingga dipukul pakai rotan. Tapi aku tidak sendiri, ada tiga orang sahabatku yang setia menemaniku disaat bermasalah. Entah itu tidak mengerjakan kerja rumah (PR), gangguin teman-teman yang lain, kelahi dan yang paling tidak terlupakan adalah menangkap ikan di sungai saat jam pelajaran. Tapi dari semua sisi negatif yang sudah aku umbarkan, ada secuil prestasi yang bisa kuperlihatkan kepada guru-guruku. Yaitu dalam bidang olahraga dan seni. Setiap tahun ada semacam kompetisi antar sekolah Humana di daerah kami. Berbagai cabang olahraga dan seni diperlombakan. Sekolah kami ikut serta setiap tahun dan siswanya mampu mewakilkan semua cabang yang ada. Selama aku mengikuti kompetisi itu, sudah dua kali sekolah kami keluar sebagai juara umum. Aku turut ikut memberikan kontribusi lewat beberapa cabang olahraga dan pentas seni yang diperlombakan.
        Kenakalan kami tidak di ruang lingkup sekolah saja, pulang sekolah juga tidak kalah hebatnya. Kami biasa mengisi waktu di siang bolong dengan rutinitas andalan kami yaitu tangkap ikan di sepanjang sungai ladang tempat kami tinggal. Kami menangkap ikan dengan berbagai metode di antaranya dengan menggunakan jala, pancing, kelambu sampai dengan menggunakan tangan kosong. Suatu keseruan tersendiri yang kami rasakan apalagi ketika kami mendapatkan ikan yang banyak. Biasanya kami pulang ke rumah ketika hari sudah menjelang sore. Namun, sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami melakukan pembagian hasil tangkapan terlebih dahulu. Kadang juga diolah bareng ketika ada kesepakatan bersama. Kami mengolah ikan-ikan itu dengan di bakar. Kami membuat tungkunya di belakang rumah. Setelah di bakar, kami menyantapnya dengan ditemani sambal ala kami seadanya. Setelah santapannya habis, jika masih ada kesempatan untuk bermain, kami ikut gabung bermain dengan kawan-kawan yang lain. Biasanya setiap sore, ada beberapa permainan tradisional yang dimainkan di ladang. Di antaranya tak ketinggalan sepak bola kampung, engklek, boi-boian, kelereng and many more. Saking asiknya, tidak berhenti sampai salah satu orang tua kami datang dengan membawa senjata andalannya dan membubarkan kami.
       Waktu liburku yang seharusnya menjadi idaman bagi murid-murid, namun tidak bagiku. Bagaimana tidak, waktu liburku dua hari seminggu aku isi dengan membantu ayah di kebun. Ayahku adalah seorang buruh tani waktu itu. Dia mengabdikan dirinya diperusahaan selama tujuh tahun lamanya, sama seperti ibuku. Hanya saja ibuku di bagian perawatan ladang. Tidak banyak yang bisa ku ceritakan tentang kedua orang tua ku. Setiap hari, aku hanya melihat mereka kelelahan. Namun demikian, tidak pernah surut semangat mereka untuk menyekolahkan kami anak-anaknya yang berjumlah lima orang agar bisa sukses setidaknya lebih dari mereka. Itu terlihat dengan nasihat-nasihat yang tiada putusnya mereka lontarkan ke telinga kami. Saking seringnya, pesan mereka tidak terhapus di benak ku. "Cukup mamak sama bapak yang menderita begini, kalian jangan. Hargai pengorbanan kami. Kami tidak meminta balasan, melihatmu sukses sudah cukup bagi kami."(terjemahan dari bahasa bugis). Pesan-pesan yang senada dengan itu sampai sekarang masih sering kudengar dari mulut mereka. Aku salut dengan cita-cita mulia mereka yang ingin menyukseskan kami.
       Ketika aku duduk di bangku kelas empat SD, sekolah kami kedatangan seorang guru baru yang direkrut dari Indonesia. Beliau mendapat kontrak mengajar selama dua tahun di sekolah kami. Awalnya dia mengajar dengan pembawaan yang kalem-kalem saja. Entah dia malu-malu atau mencoba untuk beradaptasi dengan "gaya" kami. Kami biasa menyapanya "miss Atik." Tidak seperti guru yang lain, dia punya metode tersendiri dalam mengajar dan bahasa yang agak asing di telinga kami. Maklum dia orang Jakarta. Orang Jakarta ngajar anak-anak kem malaysia pedalaman yaa susah.
       Setelah beberapa bulan mengajar, akhirnya dia sudah paham betul dengan kami. Dia mulai menunjukkan taringnya. Seperti singa yang baru bangun. Dia sudah tidak ada bedanya lagi dengan guru-guru yang lain. Seperti "hantu" yang ditakuti oleh para bejaters sekolah seperti kami. Sikap tegas dan disiplin yang tinggi ternyata adalah karakternya yang tersembunyi selama ini. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Sekarang kami yang akan beradaptasi dengan "gaya"nya. Namun begitu, tidak semudah itu menyurutkan kenakalan kami yang sudah mendarah daging. Tapi nyatanya dia punya strategi tersendiri. Entah bagaimana dia menyadarkan kami supaya tidak menangkap ikan lagi. Yang aku ingat dia hanya pernah sekali menyinggung kami dengan sindirian dan itu masih menempel di benak ku hingga sekarang. "Jangan bermental orang bodoh. Dimana-mana tangkap ikan, dirumah tangkap ikan, di sekolah juga tangkap ikan. Mau jadi apa kalian?."Kira-kira seperti itulah kata-kata yang dilontarkan pada saat upacara bendera waktu itu. Selain itu, cekikan suara dan hukuman datang silih berganti. Mungkin itulah beberapa bumbu yang beliau tuangkan dalam proses menyadarkan kami. Akhirnya kenakalan kami berhasil dipangkas habis. Kami belajar lebih serius dari sebelummnya. Beliau sering memberikan hadiah bagi murid yang berprestasi. Aku pernah dapat sekali. Ya cuma sekali saja.
       Tapi beliau adalah salah satu guru favorit ku. Aku belajar banyak dari beliau. Motivasi dan inspirasi tak henti-hentinya beliau berikan. Aku menyadarinya setelah beliau tidak mengajar lagi disekolah kami dan berbarengan dengan itu, angkatan kami sudah akan mengenakan toga tanda kelulusan kami di sekolah Humana tercinta. Waktu itu aku tidak banyak menyampaikan kata-kata kepada beliau saat acara perpisahan disekolah. Aku hanya menulis alamat beliau yang beliau tulis di papan tulis. Namun di relung hati ku, aku berkata "aku akan menyusulmu miss. Kita akan bertemu lagi." Perpisahan dengan kawan-kawan yang sudah seperti saudara sendiri ditambah dengan harus berpisah dengan guru-guru yang sudah mengorbankan waktunya untuk mengajar kami. Perasaan antara senang, bahagia, haru dan tangis menjadi satu sehingga susah untuk diungkapkan. Tak lama kemudian, kami mendapatkan rekomendasi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di Nunukan. Dan aku tidak menyia-nyiankan kesempatan itu. Selang beberapa waktu kemudian, aku dan kawan-kawan yang ingin melanjutkan sekolah berangkat ke Nunukan. Aku tidak menyangka bahwa keberangkatan ku itu adalah akhir dari cerita ku di negeri orang.
       Sekarang aku kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di jawa, dekat dengan pemukiman "miss Atik". Aku bisa lebih "bebas" bertemu dengan beliau. Kakakku kuliah di salah satu universitas di samarinda kaltim. Adikku yang paling tua sekarang duduk di bangku kelas tiga SMA dan dua orang lainnya masing-masing kelas lima dan enam SD di kaltim. Ayah dan ibuku sekarang membuka usaha lahan sawit di Berau Kaltim. Cita-citanya kian hampir tercapai. Tinggal menunggu waktu saja. Hehehe aamiin.
       itulah seberkas kisah kenanganku ketika masih mengenakan seragam kuning hijau yang dapat aku tuangkan lewat tulisan. Tidak dapat aku gambarkan dengan sempurna memori yang pernah terekam. Selebihnya biarlah tetap bersemayam di dalam anganku dan akan selalu menemaniku dalam setiap langkah hidupku.
      

Previous
Next Post »

1 komentar:

Amanji Kefron delete 16 Januari 2017 pukul 06.15

Bagus artikelnya
Tapi banyak kata yang tidak baku dan penempatan tanda bacanya masih salah tempat.


Ingatanku mentok ketik kelas tiga darja
Bagusnya "aku kembali teringat ketika kelas tiga darja"

Posting Komentar